Selain presiden yang ada ‘the real’ nya, ternyata investasi dan asuransi juga ada. Apakah itu yang bisa menggabungkan kedua hal ini?
Ya betul sekali. Properti jawabannya. Eh tapi tidak semua properti memenuhi syarat sebagai alat investasi sekaligus asuransi.
Asuransi yang dimaksud pada bahasan berikut adalah asuransi jiwa dan diperuntukkan bagi yang ingin mengelola asuransi sendiri atau yang dikenal dengan self insurance.
Persyaratan utama bagi yang ingin melakukan self insurance adalah usia, semakin dini (usia produktif) semakin baik.
Secara garis besar dana asuransi jiwa merupakan dana darurat yang diperuntukkan sebagai pertanggungan sementara bagi ahli waris karena penanggungnya meninggal dunia.
Meninggal dunia adalah hal yang pasti tapi ada ketidakpastian dalam waktunya. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Tertanggung meninggal sebelum masa pertanggungan berakhir atau masih hidup saat pertanggungan telah berakhir.
Karena adanya inflasi, maka biaya kebutuhan hidup terus meningkat. Maka diperlukan instrumen investasi yang bisa mengimbangi atau melebihinya. Dari investasi inilah diharapkan ahli waris bisa mendapatkan asuransi untuk melanjutkan ‘hidup’nya terutama pada masa awal-awal ‘kepergian’ penanggung jawab finansial keluarga.
Untuk mendapatkan investasi dan asuransi ini, maka yang harus dilakukan adalah menemukan instrumen investasi yang dalam jangka panjang mengalami peningkatan atau pelipatgandaan hasil . Salah dua yang telah dikenal masyarakat adalah properti dan produk pasar modal (saham -termasuk turunannya yaitu reksadana). Secara umum sifat kedua instrumen ini bertolak belakang. Tapi keduanya memiliki capital gain yang relatif signifikan untuk jangka panjang. Maka dalam prakteknya, kita menggunakan keduanya untuk saling mendukung.
Artikel ini memilih properti sebagai instrumen utama dan produk pasar modal (reksadana) dan deposito konvensional sebagai pendukung. Mengapa properti dipilih menjadi instrumen utama? Karena hanya propertilah kita sebagai pemilik/investor memegang kendali harga.
Sebagaimana pada artikel tentang Re-organisasi portofolio keuangan dijelaskan bahwa dana darurat (seharusnya) memiliki sifat-sifat yang fleksibel, likuid, tidak terikat, dll. Dari sifat ini, properti (keliatannya) menyimpang dari sifat likuid. Berarti apakah properti tidak cocok menjadi instrumen asuransi? Mungkinkah ada ‘jalan’ untuk membuat properti itu likuid?
Langsung contoh kasus ya , (asumsi telah memiliki asuransi kesehatan):
Misalnya seseorang dengan usia 25thn memiliki satu istri 20thn dan anak pertama berusia 2thn. Penghasilan kelas menengah dan kondisi keuangan sehat (tidak/belum memiliki utang).
Jika dia mengambil produk asuransi jiwa komersial, maka dia akan merencanakan uang pertanggungan diberikan pada ahli warisnya 30thn kemudian. Setelah ‘mencaritau dan mendapatkan’ produk (cara perhitungan UP,dll) yang memenuhi keinginannya tsb, maka dia mencoba mengaplikasikan pada rencana self insurance nya.
Karena properti membutuhkan dana yang tidak kecil untuk ‘mengeksekusi’nya, maka kita memilih bentuk tanah atau rumah ukuran dan harga subsidi (atau yang setara). Kedua jenis properti ini tingkat likuiditasnya lebih tinggi dbanding jenis properti lain.
Untuk tanah–karena tidak disukai perbankan–maka kita bisa membeli tunai tanah di daerah pinggiran kota yang potensi kenaikan harganya 30thn kemudian minimal menyamai UP atau mendekati. Lebih bagus lagi kalau bisa mendapatkan tanah di kampung halaman salah satu dari kedua suami istri tersebut. Tanah di sana (kemungkinan besar) memiliki ukuran relatif luas dan harga yang masih relatif murah juga.
Kelebihan tanah di kampung halaman yang bersangkutan adalah bisa disewakan/difungsikan sebagai lahan persawahan, perkebunan, tempat peternakan, dll tanpa harus diawasi sendiri. Bisa dibantu keluarga. Jadi intinya jika dalam bentuk tanah harus tanah/lahan yang produktif untuk disewakan. Untuk awal -awal belum perlu ada bangunannya.
Tanah ini dibuat atas nama istri dan anak, kemudian dikukuhkan lagi dengan surat wasiat dan kalau perlu didaftarkan di balai peninggalan. Untuk teknis yang lebih baik, bisa dikonsultasikan dengan notaris.
Jika memilih membeli rumah bersubsidi, maka bisa lewat KPR. Jangan beli tunai meskipun mampu. Karena di dalam KPR kan sudah ada asuransinya (diperjelas lagi saat pengambilan KPR). Sebaiknya sistem syariah jadi cicilan bisa flat. Tinggal tambahkan penjelasan-penjelasan pada surat wasiat.
Untuk lokasi memang perlu dipertimbangkan (jika terpaksa harus dijual) tapi dalam hal ini bukan yang utama. Maka sebaiknya memang KPR, jadi bank bisa ikut menilai prospek lokasi ke depannya. Jika dana saat ini memungkinkan lakukan diversifikasi lokasi dengan membeli ukuran relatif kecil tapi banyak jumlahnya 😇. Diversifikasi ini juga meminimalkan masalah jika di kemudian hari ‘banyak yang naksir’ properti kita.
Ternyata 30thn kemudian masih hidup. Nah bagus dong. Inilah salah satu kelebihan dari self insurance karena bisa dengan relatif fleksibel berubah dari perencanaan asuransi jiwa menjadi dana pensiun.. Apalagi instrumen investasi utamanya adalah properti. Selain itu, dalam self-insuranceyang (sebenarnya) tak kalah penting adalah tetap menjalankan investasi rutin untuk menambah dana darurat berupa produk dana mahal. Buat perencanaan siklusnya. Kapan harus ‘menanam, kapan memetik (sisakan untuk menjadi bibit baru) dan kapan menanam lagi.
Bagaimana jika meninggal saat anaknya masih usia belum akil baligh? Misalnya usia 32thn. Berarti UP yang dibutuhkan sangat kecil dibanding rencana UP 30 thn kemudian. Nah sebagai back-up disiapkan dana darurat yang likuiditas tinggi dalam bentuk deposito (bisa berasal dari alokasi hasil investasi tanah tsb di atas, reksadana, dll) meskipun nilainya relatif kecil, harus tetap ada.
Sementara jika meninggal diusia 40 thn, anaknya memasuki usia 17thn yang relatif produktif, istri berusia 35 thn, UP minimal meng-cover 1-2thn masa transisi ini, maka rumah atau tanah bisa dijual. Capital gainnya selama 15thn insya Allah sudah mencukupi meskipun dalam kondisi terburuk dijual di bawah harga pasar (penjualan cepat). Untuk tunai dalam masa penantian jual ini bisa menggunakan deposito dan atau pencairan reksadana.
Catatan penting: tetap lakukan evaluasi berkala (setiap 3 – 5 thn) terhadap UP karena adanya kemungkinan perubahan regulasi maupun asumsi persentase inflasi yang digunakan bisa saja meleset cukup jauh dengan berbagai faktor ketidakpastian.
Gampang khan hehe secara teori di atas kertas ya…
Contoh di atas hanya satu dari bermilyar-milyar kombinasi ‘keluarga dan kebutuhannya’. Maka jangan lupakan hal yang menjadi ‘The Real Master’ investansi dan asuransi yaitu zakat dan sedekah, jadi ikhtiar kita menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang kombinasinya bisa begitu beragam mendapat bimbingan Allah SWT.